Beritapacitan.com, PACITAN – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menuai beragam tanggapan dari kalangan praktisi hukum. Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah penguatan kewenangan kejaksaan yang dinilai dapat menggeser keseimbangan peran antara penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum.
Analis hukum IGN Agung Y Endrawan SH MH CCFA menegaskan bahwa pemahaman ini perlu diluruskan. Menurutnya, penguatan peran kejaksaan bukan bertujuan melemahkan kepolisian, melainkan menutup celah kelemahan koordinasi yang kerap menjadi sumber ketidakpastian hukum. “Penguatan posisi jaksa sebagai dominus litis harus dipahami sebagai bagian dari solusi sistemik untuk memastikan proses hukum berjalan efektif dan akuntabel,” ujarnya.
Agung menambahkan, peran jaksa tidak sebatas hadir di persidangan, tetapi juga bertanggung jawab membuktikan kebenaran materiil. Oleh karena itu, jaksa seharusnya memiliki wewenang lebih luas sejak tahap penyidikan agar dapat mengawal proses hukum secara menyeluruh.
Sayangnya, draf RKUHAP justru membatasi ruang gerak jaksa. Dalam konsep tersebut, peran jaksa lebih bersifat konsultatif, tanpa kejelasan mekanisme penyelesaian jika terjadi kebuntuan dengan penyidik. Hal ini berisiko menciptakan stagnasi proses hukum yang merugikan semua pihak, termasuk korban dan tersangka.
Perbandingan dengan sistem hukum negara lain juga menjadi sorotan. Di negara-negara civil law seperti Jepang, Jerman, dan Belanda, jaksa memimpin penyidikan dan mengarahkan jalannya perkara. Sementara itu, di negara common law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura, jaksa memiliki kewenangan independen untuk melanjutkan atau menghentikan perkara.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan draf RKUHAP yang bahkan menghapus kewenangan jaksa dalam menyidik tindak pidana khusus seperti korupsi. Padahal, jaksa selama ini dianggap lebih independen dan profesional dalam menangani kasus-kasus besar yang menyasar struktur kekuasaan.
Agung menilai, perlu ada penegasan dalam RKUHAP agar jaksa tetap memiliki wewenang menyidik kasus-kasus strategis seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat. Hal ini krusial untuk menjaga harmonisasi hukum dan memperkuat agenda reformasi hukum.
Selain itu, peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) juga perlu diperkuat. Agung mencontohkan praktik di Belanda, Jepang, dan Singapura, di mana lembaga sejenis PPNS bisa langsung menyampaikan berkas ke kejaksaan tanpa perantara kepolisian. Model ini dinilai lebih efisien dan akuntabel.
Untuk mendukung kebenaran materiil, jaksa juga diusulkan diberi wewenang pemanggilan saksi, ahli, serta akses langsung ke bukti penting seperti CCTV, dokumen elektronik, dan hasil forensik. “Tanpa kewenangan ini, jaksa akan kesulitan memastikan kebenaran di persidangan,” pungkas Agung.
Revisi RKUHAP sejatinya harus menjawab tantangan penegakan hukum modern yang menuntut efektivitas, independensi, dan akuntabilitas. Polemik ini mencerminkan betapa krusialnya reformasi hukum yang tidak hanya mengatur kewenangan, tetapi juga memastikan keadilan substansial bagi seluruh elemen masyarakat.