Beritapacitan.com, PACITAN — Upacara adat Baritan kembali digelar dengan khidmat oleh masyarakat Dusun Wati, Desa Gawang, Kecamatan Kebonagung, Pacitan, pada Minggu (20/7/2025).
Tradisi tahunan ini merupakan warisan budaya leluhur yang masih lestari hingga kini sebagai bentuk tolak bala sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Pacitan, Sukanto menjelaskan, upacara adat Baritan sarat akan simbolisme spiritual.
“Baritan berasal dari kata rid atau wiridan yang berarti memohon petunjuk dan perlindungan. Karena pengaruh dialek lokal, istilah tersebut kemudian berubah menjadi Baritan,” terangnya.
Secara historis, tradisi ini dipercaya telah ada sejak tahun 1896, pertama kali digelar oleh tokoh masyarakat bernama Ki Porso Singo Yudro sebagai respon atas wabah penyakit yang melanda desa.
Sejak saat itu, Baritan dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada hari Senin atau Kamis bulan Suro (Muharram dalam penanggalan Hijriah), yang diyakini sebagai bulan sakral.
Rangkaian upacara dimulai sejak pagi hari dengan berbagai persiapan, seperti menyiapkan sesaji dan perlengkapan ritual.
Sesaji yang disiapkan antara lain kambing kendit, dua ayam tulak, dan hasil bumi dari warga setempat. Paraga atau pembawa perlengkapan seperti tombak dan payung juga turut mengambil peran penting dalam prosesi.
Puncak upacara digelar saat tengah hari di perempatan Dusun Wati, titik yang diyakini sebagai pertemuan energi dari lima arah yang disebut Ponco Boyo.
Kelima arah tersebut mewakili potensi bahaya yang harus dinetralisir, mulai dari bencana, kemiskinan, hingga gangguan keamanan.
Tokoh-tokoh adat seperti sesepuh, juru kunci, pembawa sesaji, dan penari tayub mengambil peran penting dalam pelaksanaan Baritan.
Prosesi ini juga menjadi ajang mempererat silaturahmi warga serta menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya harmoni dengan alam dan sesama.
Disbudparpora Pacitan pun terus mendorong pelestarian upacara adat ini sebagai kekayaan budaya lokal yang bernilai luhur.
“Baritan bukan hanya warisan sejarah, tetapi juga refleksi kearifan lokal masyarakat Pacitan dalam menjaga keseimbangan hidup,” pungkasnya.