Dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-65 tahun, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pacitan menggelar serangkaian lomba dan meluncurkan sebuah buku bertema sejarah, Minggu (20/4/2025), di Gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pacitan.
Kegiatan ini diwarnai dengan semangat kolaboratif dan kreatif.
Sejumlah lomba digelar, mulai dari cerdas cermat, lomba menulis cerita kader, hingga sayembara unik: menjadi Ketua Umum selama sepekan.
Ketua Panitia Lomba, Lutfi Abdul Majid Amin mengatakan tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah merefleksikan sejarah panjang PMII sebagai organisasi kader dan gerakan transformasi sosial.
“Harapannya untuk menguatkan wawasan kader tentang ke-PMII-an, keislaman, kebangsaan dan leadership melalui pendekatan kompetitif yang sehat,” ucapnya.
Selain itu, lomba tersebut dimaksudkan untuk menjadi media pembelajaran kolektif dalam membangun generasi intelektual dan progresif.
Kendati demikian, sorotan utama datang dari peluncuran buku bertajuk “Memoar PMII di Bumi Pacitan: Sejarah, Intrik Kaderisasi, dan Gerakan.”
Buku ini menjadi salah satu persembahan monumental dalam perayaan harlah kali ini. Ditulis oleh Tim Kaderisasi PC PMII Pacitan, buku ini bukan sekadar dokumentasi sejarah.
Dengan gaya semi-fiksi yang naratif dan mengalir, karya ini menggambarkan perjalanan organisasi dari ketua umum pertama hingga ketiga belas, lengkap dengan dinamika internal, konflik pemikiran, hingga ledakan-ledakan gerakan mahasiswa yang mewarnai Pacitan.
“Alhamdulillah, pada momentum harlah ke-65 ini, kita tidak hanya merayakan dengan euforia, tapi juga dengan karya,” ujar Ketua Kaderisasi PC PMII Pacitan, Sunardi.
Buku ini, imbuhnya, menjadi penanda bahwa PMII Pacitan punya jejak panjang yang patut dibaca, didiskusikan, dan dijadikan pijakan kader ke depan.
Sunardi menegaskan, peluncuran buku bukan semata-mata ajang nostalgia. Ia merupakan strategi membumikan nilai-nilai dasar PMII dalam bentuk yang lebih kontekstual dan mudah diterima generasi hari ini.
“Kami ingin membangun tradisi baru dalam gerakan PMII. Bergerak berbasis karya, dengan output yang jelas, dan tetap berpijak pada paradigma kritis-transformatif. Karena tantangan zaman hari ini butuh respons yang tak hanya semangat, tapi juga taktis dan kontekstual,” imbuhnya.
Dengan gaya tutur yang penuh emosi, buku Memoar PMII di Bumi Pacitan menjadi semacam panggung di mana sejarah tak hanya dibacakan, tapi dipentaskan dalam bentuk narasi yang menggugah.
Menjadikannya tak hanya sebagai produk literasi, tapi juga sebagai simbol hidupnya budaya intelektual di tubuh PMII.
Harlah ke-65 PMII di Pacitan tak sekadar jadi ajang peringatan. Ia berubah menjadi ruang refleksi, selebrasi, dan regenerasi ide. Karena di Pacitan, sejarah tak sekadar dihafal—ia ditulis, dipentaskan, dan diwariskan. (*)