Beritapacitan.com, PACITAN – Tuntutan buruh yang bergema di Jakarta, 28 Agustus 2025 mendapat sorotan luas.
Mereka mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan tanpa embel-embel Omnibus Law.
Poin penting lainnya yakni penghapusan sistem outsourcing dan upah murah, pembentukan Satgas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta reformasi pajak perburuhan.
Tuntutan ini dinilai relevan dengan kondisi riil para pekerja, terutama di daerah. Di Pacitan, sejumlah buruh mengaku penghasilan yang diterima jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ihsan Efendi, pekerja wiraswasta di salah satu outlet Sari Roti Pacitan, menilai UMK Pacitan sebesar Rp2,2 juta tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin tinggi.
“Pas-pasan, yang pasti sering nombok kalau nggak ada ceperan. Semakin hari harga pokok naik, tapi gaji segitu-segitu saja. UMK Pacitan 2,2 kalau dikalkulasi sehari-hari itu kurang. Itu baru satu orang, belum kalau punya keluarga,” ungkap Ihsan, Kamis (28/8/2025),
Meski tak turun ke jalan, Ihsan menyatakan dukungannya kepada buruh yang beraksi di kota-kota besar.
“Tetap mendukung, tetap semangat. Dari Pacitan memang jangkauannya jauh, tapi saya sepakat dengan apa yang dilakukan itu selama untuk kebaikan rakyat Indonesia, terutama buruh,” tambahnya.
Suara senada datang dari Indra, pekerja harian pemilah rongsokan di Ploso. Baginya, kerja keras setiap hari tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima.
“Kadang kerja dari pagi sampai sore, tapi uangnya nggak sampai cukup buat kebutuhan dapur,” ujarnya.
Indra menambahkan, buruh di daerah kerap menghadapi dilema: tetap bekerja meski penghasilan pas-pasan, karena tidak ada pilihan lain.
“Kalau sehari nggak kerja, otomatis nggak ada uang buat makan. Jadi memang butuh perubahan biar buruh bisa hidup lebih layak,” tegasnya.
Potret buruh Pacitan ini sejalan dengan kajian sejumlah lembaga yang menyebut daya beli masyarakat kecil terus tergerus akibat inflasi pangan dan beban pajak yang tak proporsional.
UMK Pacitan termasuk salah satu yang terendah di Jawa Timur, sehingga wajar jika pekerja lokal merasa tertinggal.
Di sisi lain, tuntutan nasional soal reformasi pajak perburuhan juga dianggap krusial. Beban pajak pesangon, THR, dan JHT selama ini dirasakan memberatkan buruh.
Bahkan, ketentuan pajak yang berbeda untuk perempuan menikah dinilai diskriminatif.
Aksi di Jakarta dan suara buruh Pacitan sama-sama memperlihatkan urgensi pembaruan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih manusiawi.
Jika pemerintah pusat fokus pada payung hukum, suara dari daerah memperlihatkan realitas sehari-hari bekerja keras, namun masih sering nombok untuk sekadar bertahan hidup.(*)