Beritapacitan.com, PACITAN – Malam terakhir atau puncak Festival Rontek Pacitan 2025 disambut antusiasme luar biasa. Ribuan warga dan wisatawan memadati pusat kota Pacitan, Senin malam, 7 Juli 2025.
Kawasan Pasar Krempyeng juga dipadati penonton yang rela berdiri berjam-jam menyaksikan aksi teatrikal kolosal dari berbagai kecamatan.
Sorak sorai dan tepuk tangan mengiringi tiap rombongan yang tampil, terutama para penari berbusana tradisional glamor dengan koreografi anggun dan memukau.
“Setiap langkah dan irama adalah pesan budaya,” ujar Fian Wahyu, warga Pringkuku.
Festival ini juga menggeliatkan ekonomi lokal. Deretan UMKM menawarkan kuliner, kerajinan, hingga mainan tradisional yang laris diburu pengunjung.
Rontek bukan sekadar hiburan, tapi cerminan semangat kolektif menjaga dan merawat warisan budaya.

“Pring”, Pesan Falsafah dari Besut Kaloka Kebonagung
Salah satu penampilan grup rontek bernama Besut Kaloka dari Desa Klesem, Kebonagung, cukup mencuri perhatian lewat karya berjudul “Pring”, yang mengangkat bambu sebagai simbol falsafah Jawa.
Alih-alih sekadar instrumen, bambu dimaknai sebagai lambang kekuatan dalam kesederhanaan dan keteguhan dalam kelenturan.
Pertunjukan dibuka dengan kentongan dan tari kontemplatif yang menggambarkan siklus hidup manusia — dari lahir hingga kembali menyatu dengan alam.
“Bambu tak hanya menghasilkan bunyi, tapi menyuarakan nilai,” kata Mangsuri, Kepala Desa Klesem.
Dengan visual intim, kostum alami, dan irama yang hening tapi dalam, pertunjukan ini mengajak penonton merenung akan makna hidup dan pentingnya harmoni dengan alam.
“‘Pring’ bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah ajakan untuk kembali ke akar, hidup lebih arif, dan memahami jati diri,” tutupnya.(*)