Beritapacitan.com, PACITAN – Sejak pertama kali digelontorkan pada 2015, Dana Desa (DD) telah menjadi motor utama pembangunan di Pacitan. Jalan antar dusun, balai pertemuan, hingga sarana kesehatan dan pendidikan lahir dari kucuran dana pusat ini.
Namun di balik catatan keberhasilan, terdapat problem klasik yang terus membayangi, penyelewengan anggaran oleh oknum aparat desa.
Mulai 2025, arah kebijakan penggunaan Dana Desa pun digeser. Infrastruktur yang selama ini mendominasi kini harus berbagi ruang dengan sektor produktif, terutama ketahanan pangan minimal 20 persen, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan BUMDes.
Pergeseran kebijakan ini dimaksudkan agar dana miliaran rupiah yang masuk setiap tahun tidak sekadar habis untuk bangunan fisik, melainkan juga mampu menciptakan sumber ekonomi baru di desa.
Kepala Bidang Pemerintahan Desa DPMD Pacitan, Sigit Dani, menegaskan perubahan orientasi ini sebagai langkah korektif.
“Kalau dulu desa selalu bergantung pemerintah untuk membangun jalan, kini dengan Dana Desa sudah bisa menentukan prioritas sendiri. Tetapi ke depan harus lebih berani masuk ke sektor produktif. Infrastruktur boleh, tapi porsinya dikurangi,” jelasnya, Rabu (20/8/2025).
Untuk menjamin akuntabilitas, Pemkab Pacitan mengadopsi sistem transaksi non-tunai. Langkah ini diyakini dapat mempersempit peluang korupsi. Namun, sebagus apapun sistem yang disiapkan, pengawasan tetap jadi kunci.
“Akuntabilitas itu harus hadir di setiap lini. Kami siapkan regulasi, inspektorat audit, dan masyarakat mengawasi lewat musyawarah. Kalau semua unsur jalan, ruang penyalahgunaan akan semakin sempit,” tegas Dani.
Kendati demikian, fakta lapangan menunjukkan masih ada kasus korupsi Dana Desa di Pacitan. Polanya cenderung berulang, bendahara atau kepala desa memanfaatkan celah lemahnya kontrol keuangan. DPMD tidak menutup mata terhadap kondisi ini.
“Kalau bendahara atau kepala desa terbukti korupsi, konsekuensinya jelas: ditindak hukum. Aturan mainnya ada, dari APIP, inspektorat, sampai aparat penegak hukum (APH). Kami di DPMD sebatas pembinaan dan pencegahan,” ujarnya.
Dasar pengelolaan Dana Desa berlapis, mulai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, hingga Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
Regulasi itu mengatur secara detail kewajiban perangkat desa, menyusun APBDes transparan, melaporkan realisasi, hingga mempertanggungjawabkan penggunaan dana.
“Kalau ada yang melenceng, konsekuensinya berjenjang. Bisa administrasi, pemberhentian sementara, hingga pidana. Itulah kenapa kami terus lakukan pembinaan kapasitas, supaya perangkat desa tidak salah langkah,” tambahnya.
Selain soal korupsi, problem lain yang mencuat adalah BUMDes yang stagnan. Banyak di antaranya hanya ada papan nama tanpa aktivitas nyata.
Tahun ini, DPMD meluncurkan program revitalisasi, BUMDes mati suri diarahkan kembali ke potensi lokal, sementara yang aktif didorong menjadi motor ekonomi desa.
“Kami arahkan ke sektor riil yang jelas punya potensi, seperti air minum, pengelolaan sampah, pertanian, dan peternakan. Sistem dan manajemennya kami bantu, tapi keputusan tetap di tangan desa,” ucap Dani.
Menurutnya, korupsi Dana Desa bukan hanya tindak pidana, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap warga. Sebab dana tersebut pada hakikatnya adalah hak masyarakat desa.
“Kalau disalahgunakan, sama saja mengikis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah desa. Tapi kalau dijalankan transparan dan sesuai musyawarah, dampaknya akan besar sekali bagi pembangunan desa,” pungkasnya.(*)