Beritapacitan.com, PACITAN — Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPKB dan PPPA) Kabupaten Pacitan mencatat peningkatan tipis dalam jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dari 15 kasus pada 2024, jumlahnya bertambah menjadi 17 kasus hingga pertengahan 2025.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas PPKB dan PPPA Pacitan, Jayuk Susilaningtyas, justru menyampaikan pandangan positif.
Menurutnya, kenaikan angka bukan cerminan lemahnya penanganan, melainkan indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor.
“Malah bagus. Kami justru dorong masyarakat berani melapor. Jika tidak ada laporan, kami tidak bisa mendampingi. Ini hasil kerja keras edukasi tentang 2P (Pelapor dan Lapor),” ucap Jayuk, Selasa, 20 Mei 2025.
Jayuk menegaskan, pelaporan merupakan langkah awal yang sangat krusial dalam proses perlindungan korban. Tanpa laporan, upaya pendampingan dan intervensi sulit dilakukan.
“Semakin banyak yang melapor, semakin banyak yang bisa kami bantu dan lindungi,” tambahnya.
Selama ini, banyak kasus kekerasan, khususnya dalam lingkup rumah tangga, tidak terdeteksi karena korban enggan melapor. Rasa takut, malu, hingga tekanan sosial masih menjadi hambatan besar.
Untuk mengatasi hal ini, Dinas PPKB dan PPPA menggencarkan sosialisasi serta membuka layanan pengaduan yang lebih mudah dan aman. Layanan konseling dan pendampingan hukum juga terus diperluas.
Lebih dari itu, berbagai elemen masyarakat dilibatkan dalam pembentukan jejaring perlindungan. Organisasi seperti Fatayat NU, PKK, lembaga pendidikan, hingga kader lapangan menjadi mitra strategis.
“Upaya pencegahan dan penanganan ini tidak bisa dikerjakan satu instansi saja. Harus ada sinergi semua pihak agar perempuan dan anak benar-benar terlindungi dari kekerasan dalam bentuk apa pun,” tegas Jayuk.
Angka Pernikahan Dini Turun Berkat Edukasi Terstruktur
Sementara itu, angka pernikahan dini di Pacitan menunjukkan tren penurunan sejak pandemi.
Jika pada masa pandemi sempat menembus lebih dari 400 pengajuan, maka pada 2023 dan 2024 jumlahnya terus menurun. Hingga pertengahan 2025, tercatat hanya sekitar tiga ratusan kasus.
Menurut Jayuk, penurunan ini tak lepas dari kebijakan edukatif dan pembentukan tim verifikasi di tingkat kecamatan.
Tim ini terdiri dari camat, penyuluh, dan pihak Kantor Urusan Agama (KUA), yang bertugas melakukan pendampingan serta edukasi pranikah.
“Tidak ada persetujuan langsung. Semua pengajuan wajib melalui edukasi. Dan sejak Agustus 2023, permohonan ke Pengadilan Agama yang tidak memenuhi syarat usia minimal 19 tahun langsung ditolak,” ungkap Jayuk.
Ia menambahkan, faktor ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua masih menjadi pemicu utama maraknya pernikahan dini.
“Rata-rata orang tua berlatar pendidikan SMP dan kondisi ekonomi lemah. Mereka berharap menikahkan anak bisa mengurangi beban. Padahal justru menambah beban baru,” pungkasnya. (*)