Beritapacitan.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan kewajiban pembayaran uang pengganti senilai Rp4,57 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah yang menjerat Direktur Utama PT RBT, Suparta, akan dialihkan kepada ahli warisnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa status hukum terdakwa yang disandang Suparta telah gugur seiring wafatnya yang bersangkutan pada Senin (28/4) lalu. Suparta mengembuskan napas terakhir di RSUD Cibinong, Jawa Barat, saat menjalani masa tahanan di Lapas Cibinong.
“Status sebagai terdakwa memang gugur karena meninggal dunia, namun kewajiban membayar uang pengganti tidak ikut gugur,” kata Harli kepada wartawan, Rabu (30/4).
Ia menegaskan, putusan pengadilan yang menghukum Suparta membayar uang pengganti tetap berlaku, dan Kejagung akan menempuh langkah keperdataan untuk memulihkan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, gugatan keperdataan dapat diajukan kepada ahli waris dari terdakwa yang telah meninggal dunia.
“JPU akan menyerahkan berita acara persidangan kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk dilakukan gugatan perdata demi pengembalian kerugian keuangan negara,” jelas Harli.
Meski demikian, Harli mengakui bahwa hingga saat ini Kejaksaan belum mengambil sikap pasti terkait waktu pelayangan gugatan kepada ahli waris. “Itu nanti akan dikaji dulu oleh penuntut umum,” tambahnya.
Suparta merupakan salah satu dari puluhan tersangka yang diproses Kejagung dalam skandal korupsi pengelolaan komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015–2022, yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp300,003 triliun.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sempat memperberat vonis Suparta dari 8 tahun menjadi 19 tahun penjara. Ia juga dijatuhi denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta hukuman membayar uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider 10 tahun penjara. (*)